Pendapatku Benar Tapi Bisa Jadi Salah
Ada  kalimat yang masyhur sekali di kalangan para fuqaha' (ahli fiqih), dan hampir  semua imam madzhab diriwayatkan pernah mengatakan kalimat ini, yaitu: 
رأيي  صواب ويحتمل الخطأ ورأي غيري خطأ يحتمل الصواب
"Pendapatku benar, tapi bisa jadi salah.  Dan pendapat selain ku itu salah, tapi bisa jadi benar". 
Semua  Imam mengklaim bahwa pendapatnya itu ialah yang benar, namun dengan kerendahan  hati yang sangat beliau mengatakan bahwa pendapatnya itu benar dengan kemungkinan  adanya kesalahan, akan tetapi pendapat yang lain salah denngan kemungkinan  adanya kebenaran di dalamnya. 
Mungkin  ada yang berfikir bahwa ini seperti kesombongan dari seorang ulama tentang  ijtihad mereka, padahal sejatinya sama sekali tidak bernilai kesombongan.  Justru malah sebaliknya, ini adalah pengakuan yang menunjukkan bahwa seorang  faqih itu sangat tawadhu'. 
Bagaimana  bisa tawadhu', kenapa tidak mereka katakana saja bahwa pendapatnya itu salah?  Tapi malah mengklaim benar. 
Yang  pertama harus dingat itu ialah bahwa yang mengatakan perkataan ini bukanlah  seorang ulama yang levelnya masih standar atau masih level tingkat medium. Akan  tetapi yang mnegatakan ini adalah ulama yang memang berlevel mujtahid, bahkan  mujtahid mutlak. 
Dan  seorang mujtahid mendapat perintah untuk berijtihad bukan mengikuti dalam  masalah hukum ibadah yang ia kerjakan. Bahkan tidak juga diperkanankan untuk  mengikuti mujtahid yang lain. Artinya bahwa seorang mujtahid yang mempunyai  alat untuk berijtihad, ia harus dan wajib berijtihad dan haruslah memastikan  bahwa ijtihadnya ini sudah pada koridor ijtihad yang memang diakui oleh  kalangan ulama lain.
Imam  Ibnu Qudamah dalam kitabnya "Raudhoh Al-Nadzir", dalam bab Ijtihad  dengan gamblang beliau mnejelaskan bahwa seorang mujtahid tidak diperbolehkan  untuk mengikuti fatwa mujtahid lain. Dan beliau dengan tegas bahwa ini adalah  sebuah kesepakata (Ittifaq). 
Lalu  kenapa harus mengatakan pendapatnya yang benar? 
Jawabnya  karena seorang muslim tidak mungkin melaksanakan ibadah dengan sandaran dalil  yang "Salah". Dan yang benar menurut seorang mujtahid ialah apa yang telah ia  ijtihadkan, dan itulah kebenaran di mata seorang mujtahid. Dan ijtihadnya  menjadi sandaran dalil bagi dirinya dan siapa yang mengikuti, karena menjadi  sandaran dalil, tidak mungkin seorang muslim beribadah dengan dalil yang  salah.  
Tapi  sama sekali seorang mujtahid tidak pernah mengklaim bahwa hasil ijtihadnya  ialah kebenaran mutlak yang harus diikuti dan orang lain tidak boleh berbeda,  dengan kalimat: [ويحتمل الخطأ] "Bisa Jadi salah"! Disini letak bahwa seorang faqih  itu seorang yang tawadhu dan tidak sombong. Sama sekali tidak pernah mengklaim  kebenaran hanya padanya.
Karena  mereka sadar, bahwa apa yang mereka ijtihadkan tidak mesti sama dengan mujtahid  lain yang juga berijtihad yang bisa jadi itu berbeda dengan hasil ijtihadnya.  Yang diperintahkan oleh Allah swt kepada para mujtahid ialah berijtihad, dan  kemana hasil ijtihad akan mengarahkan mereka, disitulah kebenaran di mata  mereka. 
Dan  kalimat: [رأيي غيري خطأ ويحتمل الصواب] "Pendapat selainku salah tapi bisa jadi  benar". Di sinilah  poin bahwa seorang faqih atau mujtahid tidak diperkanankan untuk saling hujat  dan mengklaim bahwa kebenaran hanya pada dirinya, tidak pada orang lain.  
Seorang  ulama A berijtihad dan menghasilkan hukum A, lalu ulama B berijtihad dan  menghasilkan hukum B. kedua ulama tersebut terpuji dan mendapat ganjaran pahal  dari Allah swt atas ijtihadnya itu. Hukum A itu salah menurut ulama B tapi bisa  jadi benar, dan juga sebaliknya, hukum B itu salah menurut ulama A tapi bisa  jadi benar juga. 
Keduanya  telah melakukan kewajiban masing-masing sebagai seorang mujtahid, untuk  berijtihad. Adapaun siapa yang ijtihadnya bersepakat dengan kebanaran yang ada  pada Allah, itu bukan tuntutan. Yang dituntut itu ialah mereka berijtidah,  setelah itu mereka beribadah dengan hasil ijtihadnya sendiri. Dan itu legal  dalam syariah karena telahmnedapat legalitas. 
Karena  masing-masing telah melakukan kewajiban, dan masing-masing diakui ijtihadnya  oleh syariah, seorang mujtahid tidak punya celah untuk menghujat atau memaki  atau juga mencaci ijtihad ulama lain. Tapi tetap dalam koridor saling  menghormati. 
Karena  itu, kita tidak temukan ada seorang mujtahid atau imam madzhab yang mengklaim  madzhabnya yang paling benar sendiri dan tidak juga mereka memaksa orang lain  untuk mengikuti madzhabnya. Semua tetap kondusif dan saling menghormati tanpa  ada yang menghina satu sama lain. 
Wallahu  A'lam 

.jpg) 
 
 
Comments
Post a Comment