Belajar Taqlid dari Ibnu Qudamah
Dalam  kitabnya, Raudhoh Al-Nadzir wa Junnah Al-Munadzir, di bab Taqlid, Imam  Ibnu Qudamah Al-Maqdisi (620H) menyebutkan Ijma' (Konsensus) para  sahabat bahwa seorang awam boleh taqlid (mengikuti) mujtahid atau  madzhab dalam masalah-masalah syar'i yang furu'i (cabang/fiqih), bahkan bukan  Cuma boleh, tapi wajib Taqlid.
Sama  sekali tidak diwajibkan seorang awam untuk mengetahui dalil, cukup bagi seorang  awam untuk mengetahui hukum suatu masalah, dan menjalankan ibadah sesuai hukum  yang ia ketahui walau tidak tahu dalil. Dan cukup baginya fatwa ulama yang ia  ikuti, atau guru yang ia belajar kepadanya. 
Beliau  (Ibnu Qudamah) membantah pendangan Al-Qadariyah, yang berpendapat bahwa  seorang awam juga wajib mengetahui dalil dari hukum-hukum masalah atau juga ibadah  yang ia lakukan. 
Kemudian,  beliau mengatakan bahwa anggapan itu tidak benar, karena berselisih dengan Ijma'  sahabat. Dan Ijma' sahabat adalah salah sumber dalil yang  disepakati, yang mana ulama bersepakat bahwa menyelisih ijma' adalah  berdosa. 
Ulama  yang bermadzhab Hanbali ini mengatakan bahwa dulu juga para sahabat tidak  semuanya ahli fiqih dan ahli ilmu. Sahabat pun derajatnya berbeda-beda, ada  yang mujtahid dan ada juga yang awam yang tidak mampu berijtihad. Dan para  sahabat ketika itu beribadah dengan ijtihadnya sahabat lain yang derajatnya  memang mujtahid, seperti Abu Bakr, Umar, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud dan yang  lainnya. 
Lebih  jelas lagi bahwa ketika sahabat yang mujtahid ini ditanya tentang suatu  masalah, mereka menjawab pertanyaan itu. Dan sama sekali mereka tidak menyuruh  sahabat yang lain untuk berijtihad. Mereka tidak mengatakan: "berijtihadlah!".  
Kalau  seandainya seorang awal harus mengetahui dalil dan mereka tidak mampu untuk  itu, pastilah para sahabat tidak akan menjawab pertanyaan mereka semua. Pasti  mereka menyuruh sahabat yang lainnya untuk berijtihad, karena haram ber-taqlid.  Tapi tidak demikian. 
Karena  kalau semua orang muslim ini diharuskan mengetahui dalil dari setiap amalan  ibadah yang dikerjakan, mereka harus mempelajari alat-alat untuk berijtihad  itu, seperti ilmu bahasa arab, tahu ldan hafal beberapa ayat Al-Quran yang  sangkutan dengan masalah, termasuk haditsnya, dan tidak ketinggalan ilmu ushul  fiqh, serta ilmu Thuruq Fahm Al-Hadits (cara memahami hadits), barulah  mereka boleh berijtihad.
Kalau  semuanya jadi mujtahid, pastilah akan terjadi ketimpangan dan ketidakseimbangan  dalam hidup ini. Ini justru akan membuat dunia ini kacau balau, lalu siapa yang  jadi petani dan memenuhi piring rumah kita dengan nasi? 
Siapa  nantinya yang menjadi tabib dan dokter guna mengobati orang yang sakit? Siapa  juga yang nantinya menekuni bidang astronomi yang akan meneliti pergerakan  bulan untuk mengetahui awal bulan? Siapa juga nantinya yang fokus menekuni  disiplin ilmu lain yang memang manusia membutuhkan itu. 
Karena  semua jadi mujtahid, kehidupan ini pastilah rusak dan tidak teratur, karena  semua bergerak di bidang yang sama. Tentu ini bukan suatu hal yang baik. 
Maka  itu cukuplah bagi awam, mengetahui hukum walau tidak tahu dalil. Cukup baginya ber-Taqlid  dan mengikuti para imam madzhab yang memang ijtihadnya sudah diakui dan  muktamad. Karena sama sekali tidak ada kewajiban untuk berijtihad bagi seorang  awam. 
Siapa  Yang Harus Diikuti?
Kemudian  yang jadi pertanyaan ialah siapa yang harus diikuti (di-taqlidi)? 
Ibnu  Qudaman juga punya pembahasan soal pertanyaan itu, beliau menjelaskan dengan  redaksi kalimat seperti ini:
ولا يستفتي العامي  إلا من غلب على ظنه انه من أهل الاجتهاد بما يراه من انتصابه للفتيا بمشهد من  أعيان العلماء وأخذ الناس عنه
"seorang  Muqallid tidak dibolehkan bertanya (meminta fatwa) kecuali kepada ia yang  memang diduga kuat olehnya bahwa ia adalah seorang mujtahid dengan apa yang ia  lihat bahwa orang tersebut itu layak berfatwa dan juga dengan kesaksian para  ulama lain, serta banyaknya orang yang mengambil ilmu darinya" 
Setelah  itu muncul lagi pertanyaan lain, yaitu "bagaimana jika di depan kita itu  banyak mujtahid, harus pilih yang mana?", beliau menjawab: 
وإذا  كان في البلد مجتهدون فللمقلد مساءلة من شاء منهم. ولا يلزمه مراجعة الأعلم، كما  نقل في زمن الصحابة؛ إذ سأل العامّة الفاضل والمفضول في أحوال العلماء
"Kalau  seandainya dalam satu negeri terdapat banyak mujtahid, maka seorang awam punya  keleluasaan untuk bertanya kepada siapa yang ia mau. Dan tidak harus ia mencari  yang paling pandai, sebagaimana dulu para sahabat juga bertanya kepada ulama  yang fadhil (unggul) dan juga yang mafdhul (diunggulkan) dari ulama-ulama  mereka." 
Jadi  memang tidak ada keharusan bagi seorang awam untuk mencari lebih dulu, mana  yang paling pandai atau cerdas dari para ulama tersebut untuk dimintai fatwa  atau diikuti pendapatnya. 
Imam  Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa seorang awam tidak mungkin bisa mengetahu mana  yang lebih utama dan lebih unggul dalam hal keilmuan dari ulama-ulama tersebut.  Malah sering kali mereka tertipu dengan penampilan luar saja, dan karena itu  bisa ia meminta fatwa ke ulama yang diungguli (mafdhul), padahal ada  yang lebih unggul (Afdhol). 
Dan  memang untuk mengetahui seorang ulama itu lebih cerdas dan lebih pandai  dibanding yang lain, itu membutuhkan bukti dan telisik yang dalam yang seorang  awam tidak bisa mencapai itu. Sama seperti ia tidak bisa mencapai sebuah  kesimpulan hukum masalah dari dalil-dalil yang ada.  
Bagaimana  Ber-taqlid Yang Baik?
Kemudian  juga muncul pertanyaan, "bagaimana cara bertaqlid yang baik?". Ber-Taqlid  yang baik ialah mengikuti fatwa ulama yang memang dipercayai dan tidak  menyalahkan orang lain yang mengambil dan mengikuti fatwa berbeda dari ulama  lain yang berbeda dengan ulama yang kita ikuti. 
Karena  masing-masing pendapat dari 2 ulama tersebut, sebagaimana dijelaskan oleh Imam  Ibnu Qudamah bahwa tidak ada yang lebih baik diantara keduanya. Masing-masing  baik, karena pendapat tersebut adalah hasil dari ijtihad mereka, dan ijtihad  mereka telah mendapat legalitas dari Allah swt. 
[لأنه  ليس قول بعضهم أولى من البعض]
"karena  pendapat satu tidak lebih baik diantara yang lainnya", begitu kata Imam Ibnu Qudamah. 
Karena  memang kesemuanya itu baik, dan tidak ada yang lebih baik diantara keduanya,  maka tidak dibenarkan untuk saling menyalahkan siapa yang mengambil fatwa  berbeda dari ulama yang berbeda. Syariat ini memberikan keleluasaan untuk  memilih kepada siapa kita harus mengikuti.
Jadi  sama sekali tidak diperkenankan untuk menyalahkan atau menghina bahkan menuduh  dengan tuduhan yang semestinya tidak keluar dari mulu seorang muslim kepada  saudara muslim lainnya sendiri.
Imam  Ahmad Pun Tidak Marah
Untuk  menguatkan apa yang sudah dijelaskan tentang taqlid ini dan kebolehan  meminta fatwa kepada ulama walaupun ada ulama lain yang didiuga lebih cerdas,  Imam Ibnu Qudamah menutup pembahasannya dengan sebuah riwayat dari Imam Ahmad  bin Hanbal yang pernah ditanya oleh Hasan bin Basyar, salah seorang sahabat dan  juga murid Imam Ahmad. 
Beliau  bertanya kepada Imam Ahmad tentang masalah yang berkaitan dengan talak, lalu  Imam Ahmad menjawab: "kalau itu dilakukan, maka berdosa", kemduian  Husain bertanya: "kalau aku bertanya ulama lain dan ia mnejawab berbeda  denganmu, seperti ulama di Rushafah (Iraq)?". Dengan tegas Imam Ahmad  menjawab: "Ya!"
Sama  sekali Imam Ahmad tidak marah dan tidak melarang Husain untuk mengikuti fatwa  ulama lain yang berbeda dengan fatwanya. Beliau tidak memaksa Husain  mengikutinya dan tidak juga menyalahkan ulama lain yang berfatwa beda dengan  beliau -rahimahullah rahmah wasi'ah-.   
Wallahu  a'lam 

.jpg) 
 
 
Comments
Post a Comment