Sepatu Kulit Babi, Bolehkah Memakainya?
Dalam proses  pembuatannya, tentu kulit babi yang dijadikan bahan untuk membuat sepatu itu  tidak bisa langsung dipakai, melainkan setelah proses pembersihan kulit itu  sendiri sebelumnya. Karena tidak mungkin kulit yang masih kasar dan kotor itu  didesaign sedemikian rupa menjadi sepatu. 
Proses pembersihan  kulit itu disebut dengan istilah samak dalam bahasa Indonesia, dan disebut  dengan istilah [دباغة] "dibaghah" dalam bahasa Arab. Yaitu proses pembersihan  kulit hewan dengan menggerusnya dan menghilangkan kotorannya, lemak serta bau  busuk. Entah itu dengan proses  manual  atau juga dengan mesin. 
Jad, sejatinya hukum  memakai sepatu yang terbuat dari kulit babi itu kembali kepada permasalahan  apakah penyamakan kulit hewan itu membuat kulit itu menjadi suci dan boleh  dimanfaatkan? Kalau boleh, apakah kulit babi juga termasuk kulit yang menjadi  suci dengan penyamakan atau tidak?
Dalam hal penyamakan  kulit hewan, apakah penyamakan itu membuatnya suci atau tidak, ulama berbeda  pendapat.
[1] Samak  Mensucikan Kulit Hewan, Kecuali Kulit Babi
Ini adalah  pendapatnya madzhab Syafi'iyyah dengan madzhab Hanafiyah, bahwa samak itu  mensucikan semua kulit hewan, baik yang dagingnya halal dimakan atau tidak,  kecuali kulit babi. 
Dalil yang mereka  gunakan ialah beberapa hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam  kitab Shahih-nya dari sahabat Ibnu Abbas: 
إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ
"Jika kulit itu  telah disamak, maka ia telah suci" 
Dan juga denngan  hadits lain yang juga diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas ra: 
أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ
"Setiap kulit yang  disamak, maka ia telah suci" (HR.  Ibnu Majah, Tirmidzi, Al-Nasa'i)
Hadits-hadits diatas dengan  tegas menyatakan bahwa kulit hewan -apapun itu hewannya karena redaksi  haditsnya umum- jika telah disamak, maka penyamakannya itu ialah pensuciannya.  Jika telah suci, maka boleh untuk dimanfaatkan. 
Dikecualikan Kulit  Babi dan Kulit Anjing (Al-Syafi'iyyah)
Setelah bersepakat  sucinya kulit hewan apapun yang disamak, mereka bersepakat bahwa penyamakan  tidak berlaku untuk kulit babi, kalaupun disamak, tetapi tidak bisa mensucikan.  Karena mereka berpandangan bahwa babi itu najis bukan karena kotoran atau  sejenisnya, tapi babi itu najis karena dia babi. 
Jadi memang babi itu 'Ain-nya  sendiri najis. Status kenajisannya paten, bukan karena sesuatu yang menempel  pada tubuhnya, melainkan karena memang ia najis. Karena memang itu najis baik  hidup atau mati, maka apapun bentuk pensuciannya tidak akan membuat hukumnya  berubah, Karena ia najis dzatnya.[1]     
Satu hal yang  membedakan antara dua madzhab ini bahwa madzhab Syafi'iyyah mengecualikan satu  binatang lagi selain babi yang penyamakan kulitnya tidak mensucikan, yaitu  anjing. 
Sama seperti  pengecualian babi, menurut madzhab Syafi'iyyah babi itu kedudukannya sama  seperti babi yang najis itu ialah najis besar dan ia najis dzatnya. Jadi status  kenajisannya bukan karena apa-apa, melainkan karena ia anjing. Sebagaimana  diketahui masyhurnya bahwa dalam madzhab ini, anjing dan babi adalah binatang  yang kenajisannya ialah najis besar (Mughalladzoh). [2]
Dalam kitabnya, Imam  Al-Syairozi mengatakan bahwa: 
وَأَمَّا الْكَلْبُ وَالْخِنْزِيرُ وَمَا  تَوَلَّدَ مِنْهُمَا أَوْ مِنْ أَحَدِهِمَا فَلا يَطْهُرُ جِلْدُهُمَا  بِالدِّبَاغِ لأَنَّ الدِّبَاغَ كَالْحَيَاةِ ثُمَّ الْحَيَاةُ لا تَدْفَعُ  النَّجَاسَةَ عَنْ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيرِ فَكَذَلِكَ الدِّبَاغُ
"Anjing dan babi  dan apa yang lahir dari keduanya, kulitnya itu tidak bisa suci dengan disamak.  Karena samak itu seperti kehidupan (Al-Hayah), anjing dan babi itu hidupnya  saja sudah najis. Hidupnya anjing dan babi saja tidak bisa mengangkat  kenajisannya, dengan begitu sama juga tidak bisa".[3]
[2] Penyamakan  Tidak Mensucikan Kulit Hewan
Ini adalah salah satu  pendapatnya madzhab Malikiyah yang masyhur (Imam Malik punya 2 riwayat  pendapat), dan juga salah satu riwayat pendapat Imam Ahmad bin Hanbal[4],  bahwa samak itu tidak bisa mensucikan kulit hewan secara mutlak. Apapun  hewannya, samak sama sekali tidak bisa membuatnya suci. 
Madzhab ini berdalil  dengan ayat Quran surat Al-Maidah ayat 3 yang menyatakan secara umum bahwa  bangkai itu diharamkan. Dan kulit hewan yang mati itu hukumnya hukum bangkai,  ia tidak suci. Karena tidak suci maka tidak bisa digunakan. 
Selain ayat, mereka  juga berdalil dengan hadits Ibnu 'Ukaim yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi  dan Imam Abu daud dalam Sunan keduanya. Sahabat 'Ukaim berkata bahwa  Rasul saw mengirim surat sekitar sebulan atau dua bulan yang berisi larangan  untuk memanfaatkan kulit walaupun sudah disamak: 
أَتَانَا كِتَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى  اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَنْتَفِعُوا مِنْ الْمَيْتَةِ بِإِهَابٍ
"telah datang  kepada kami, pemberitahuan (kitab) dari Nabi saw: janganlan kalian memanfaatkan  kulit hewan yang telah disamak"   
Maksud haditsnya  jelas bahwa walaupun telah ada informasi yang menunjukkan kulit hewan itu suci  setelah disamak, akan tetapi hadits ini datang belakangan dan menghapus  hadits-hadits sebelumnya, dengan bukti bahwa ini dikatakan sebelum wafat beliau  sekitar sebulan atau 2 bulan. 
Adapun hadits-hadits  yang membolehkan itu, madzhab ini mengatakan bahwa yang dimaksud suci dalam  hadits-hadits itu hanya suci dalam arti bahasa yang bermakna bersih (bukan suci  bermakna hukum). Karena itu boleh memanfaatkannya dengan alasan rukhshoh.[5]
Tapi kembali lagi seperti  madzhab yang lain bahwa rukhshoh itu juga tidak termasuk kulit babi. Maksudnya,  madzhab ini membolehkan kita untuk memanfaatkan kulit hewan yang disamak dengan  alasan rukhshoh tapi tidak untuk kulit babi. 
Babi tetap pada  keharamannya. Karena memang madzhab ini berpendapat bahwa hewan yang haram  dagingnya dan tidak bisa disembelih untuk jadi halal, kulitnya juga tidak suci  walaupun dengan samak. Dan babi secara Ijma' bahwa hewan ini tidak halal  dimakan dan tidak suci walau disembelih.[6]   
[3] Samak Hanya  Mensucikan Kulit Hewan Yang Dagingnya Halal Dimakan
Ini adalah salah satu  dari 3 pendapatnya Imam Ahmad bin Hanbal yang diriwayatkan oleh para ulama  madzhab tersebut. Pendapat pertama telah lewat bahwa sama tidak mensucikan  kulit hewan sama sekali. Pendapat kedua ini, yaitu samak hanya mensucikan hewan  yang dagingnya halal dimakan. 
Dalil madzhab ini  ialah hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya  dari sahabat Salamah bin Al-Muhabbiq, mengatakan bahwa: 
ذَكَاةُ الأَدِيمِ دِبَاغُهُ
"Penyembelihan  kulit itu dengan menyamaknya"
Dalam hadits ini,  Nabi saw menyamakan penyamakan dengan penyembelihan, karena hewan menjadi halal  dimakan kalau sudah disembelih. Ini mengisyaratkan bahwa penyamakan itu hanya  berlaku pada hewan yang boleh disembelih. Dan hewan yang hanya boleh disembelih  ialah hewan yang halal dagingnya. Maka sama pun demikian, hanya berlaku pada  hewan yang halal dagingnya. 
Pendapat ketiga Imam  Ahmad ialah: Samak mensucikan kulit hewan yang sewaktu hidupnya ialah hewan yang  suci walaupun haram dimakan, seperti keledai. 
Dalilnya sama seperti  yang digunakan oleh madzhab Syafi'iiyah dan hanafiyah selumnya. Dan kenapa  hewan yang najis ketika hidupnya dikecualikan? Beliau beralasan bahwa samak itu  hanya mengangkat najis yang terjadi karena sebab matinya hewan tersebut. Adapun  yang telah najis sejak hidupnya, maka penyamakan tidak bisa mengangkat status  najisnya.[7]  
[4] Samak  Mensucikan Semua Kulit Hewan Tanpa Kecuali
Ini adalah  pendapatnya madzhab Al-Dzohiriyah dan beberapa ulama dari kalangan Malikiyah  seperti Syahnun dan juga Abu Yusuf dari kalangan hanafiyah, bahwa samak  mensucikan semua kulit hewan termasuk kulit babi. 
Dalil yang dipakai  oleh madzhab ini sejatinya sama dengan yang digunakan oleh madzhab Syafiiyyah  dan Hanafiyah, hanya saja madzb Zohiriyah ini tidak mengecualikan hewan apapun.  Karena menurutnya hadits yang ada itu datang dengan redaksi yang umum. Lalu kenapa  ada yang dikecualikan?
Termasuk juga  berdalil dengan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhori dalam shahih-nya  dari sahabat Ibnu Abbas, terkait domba yang mati dan menjadi bangkai. Kemudian  Rasul saw mengatakan kepada Ibnu Abbas: 
هَلا أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا فَدَبَغْتُمُوهُ  فَانْتَفَعْتُمْ بِهِ ؟ فَقَالُوا : إِنَّهَا مَيْتَةٌ ، فَقَالَ : إِنَّمَا  حَرُمَ أَكْلُهَا
"apakah tidak  kalian ambil kulitnya dan kalian manfaatkan, dengan begitu itu lebih mantaaf  untuk kalian?" para sahabat berkata: "tapi itu bangkai?" Nabi saw menjawab:  "Yang haram itu memakannya". 
Dalam hadits jelas  bahwa Nabi membedakan hukum daging dan hukum kulit hewan tersebut. Domba itu  memang haram dimakan karena ia bangkai, akan tetapi kulitnya punya hukum  berbeda yang bisa menjadi suci jika disamak. 
Begitu juga babi,  menurut madzhab ini. yang diharamkan dari babi ialah makan dagingnya, sedangkan  kulitnya bisa disamak. Terlebih lagi bahwa memang madzhab ini tidak memandang  babi sebagai hewan yang najis dzatnya.[8]   
Terkait dengan hadits  Ibnu 'Ukaim yang menjadi dalil madzhab Malikiyah, dikatakan bahwa hadits ini  tidak layak untuk dijadikan dalil, karena memang sanadnya tidak kuat. Artinya hadits  ini ada cacatnya. 
Karena dalam riwayat  lain dikatakan bahwa hadits ini muncul sebelum wafatnya Nabi setahun, ada yang  bilang juga 3 hari sebelum. Initinya tidak ada kesepakatan redaksi dalam hadits  ini, itu bukti bahwa hadits ini tidak kuat, karena banyak riwayat yang berbeda.  
Dan juga disebutkan  oleh beberapa ahli hadits bahwa hadits ini diragukan sampai ke Nabi saw, karena  Ibnu 'Ukaim pun diragukan apakah dia sahabat atau bukan. Terlebih lagi bahwa dalam  hadits ini pun Ibnu 'ukaim tidak langsung mnedengar dari Nabi saw. Ini yang  dinamakan dengan hadits mursal. 
Dan pendapat ini juga  yang banyak diikuti oleh beberapa ulama kontemporer belakangan ini, salah  satunya ialah DR. Abdullah Al-Faqih, sebagaimana yang termaktub dalam fatwanya  di bank fatwa website islamweb[.]net.  
Sepatu Kulit Babi
Melihat apa yang  sudah dipaparkan diatas, kulit babi yang disamak itu suci menurut satu pendapat  dan pendapat lain mengatakan samak tidak bisa mensucikannya: 
·          Kulit babi Najis: Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i  dan Hanbali (salah satu riwayat) 
·          Kulit babi Tidak Najis: Madzhab Al-Zohiriyah 
kesimpulannya bahwa mayoritas  ulama madzhab fiqih melihat kenajisan kulit babi walaupun telah disamak, hanya  madzhab Al-Zohiriyah. Maka jika mengikuti pendapat jumhur, sepatu kulit babi  tidak boleh dipakai karena itu najis. Karena najis itu haram dimakan, maka ia  haram juga dimanfaatkan, kecuali dalam keadaan darurat. 
Akan tetapi jika menganut  madzhab Al-Zohiriyah, tidak mengapa memakai sepatu yang terbuat dari kulit babi  tidak ada larangan. 
Wallahu A'lam  

.jpg) 
 
 
Comments
Post a Comment