Kufu', Apakah Syarat Sah Nikah?
Dulu, ketika Islam belum masuk dan  merambah ke dalam struktur tradisi bangsa Arab, mereka terkenal sebagai bangsa  yang punya tatanan sosial yang buruk. Bahkan sangat buruk. Beberapa peristiwa  sudah banyak direkam sejarah tentang semrawutnya –bahkan bisa dibilang kejam-  tatanan sosial yang ada.
 Mereka membuat pemisah antara budak dan orang  merdeka, mereka juga punya struktur suku terhormat untuk menbuat klasifikasi  kelas suku, mana suku terhormat dan mana suku rendahan. Sehingga terjadi jurang  pemisah yang sangat jauh sekali. Orang dengan suku terpandang bergaul dengan  yang terpandang pula, sedang mereka yang berasal dari suku pinggiran, amat  sangat tidak layak mereka duduk bersama orang-orang dari suku terhormat.
Lebih buruk lagi, mereka juga punya  kebiasaan membunuh anak perempuan hidup-hidup; dengan alasan anak wanita tidak  berguna. Mereka lebih bangga ketika melahirkan anak laki-laki dibanding melahirkan  anak wanita yang akhirnya berujung ejekan serta tekanan sosial dari orang  sekitar. 
Namun, ketika Islam datang, semua  diferensiasi suku serta status sosial itu sedikit demi sedikit dihapus. Nabi  Muhammad datang dengan ajaran revolusi sosial yang tidak membedakan orang dari  suku terhormat atau tidak. Islam tidak hanya menerima amal dari mereka  keturunan raja, tapi justru Islam memutus jurang pemisah itu. 
Salah satu buktinya bahwa Islam datang  dengan konsep menghapus perbudakan. Langkah nyatanya, banyak beberapa syariat  yang pelanggarnya –jika melanggar- disanksi membebaskan budak menjadi manusia  yang merdeka. Ini bukti perhatian Islam yang sangat besar. Malah setiap  Kafarat, pasti pilihan pertama itu adalah membebaskan budak. 
Banyak hadits yang secara eksplisit  menyindir bahwa tidak ada utamanya Arab dan non-Arab, atau suka A lebih mulia  dari suku B. semuanya sama, yang membedakan hanyalah ketaqwaan. Makin tinggi  tanqwanya, ialah yang mulia di sisi Allah swt. 
"sesungguhnya yang paling mulia di  antara kalian adalah yang paling taqwa" (al-Hujurat: 13)
Kafaah, Antara Zohiriyah dan Jumhur
Lalu yang sering menjadi pertanyaan  adalah, kenapa para ulama mensyaratkan adanya Kufu atau Kafa'ah (kesepadanan)  dalam pernikahan? Bukankah itu justru membuat Islam kembali seperti Jahiliyah,  yang membeda-bedakan orang dengan sisi keduaniaan? 
Kafaah [كفاءة]  atau kufu' [كفء] secara  etimologi adalah persamaan atau bisa diartikan juga dengan makna sepadan. Maksudnya  persamaan antara kedua pasangan dalam hal starta dan status. Menurut istilah  ulama fiqih-pun tidak berbeda artinya dengan makna bahasa; yaitu "kesepadanan  antara kedua pasangan sebagai bentuk pencegahan kecacatan dari beberapa aspek".  [1]     
Kemudian, kalau pertanyaan apakah kafa'ah  ini harus dan menjadi salah satu perhitungan atau syarat dalam menentukan  pasangan atau tidak?
Jumhur ulama 4 madzhab  (al-Hanafiyah, al-Malikiyah, al-Syafi'iyah dan al-Hanabilah) mengatakan YA, kafaah  adalah bagian dari syarat nikah. Berbeda dengan madzhab al-Zohiriyah yang  mengatakan bahwa tidak ada yang namanya syarat kalau menikah harus dengan yang kufu'.
Pendapat Ahl Dzohir ini benpandangan  bahwa muslim itu semua sama, tidak ada yang membedakan, sebagaimana ayat di  atas. Karena semua sama, maka siapapun boleh menikah dengan yang ia mau. Yang penting  dia muslim. 
Jadi, wanita "kurang ajar" sah  nikahnya dengan pemuda baik, rajin shalat dan sopan. Begitu juga sebaliknya,  laki-laki "mata belang" asalkan muslim, sah buat dia menikahi wanita shalehah  yang menjaga auratnya dan terjaga pandangannnya. Karena memang yang menjadi  patokan ialah muslim atau tidak. kalau muslim, maka tidak ada lagi birokrasi "kafaah"  setelahnya. 
Kenapa Harus Ada Kafaah? 
Jumhur ulama tidak mengamini  pendapatnya Imam Daud al-Zohiri itu dan melihat bahwa kafaah itu menjadi  salah satu syarat dalam pernikahan. Karena memang ada beberapa dalil yang  menunjukkan itu. Di antaranya: 
"tiga Hal yang tidak boleh  ditunda; Shalat kalau sudah datang waktunya, mayat -kalau sudah siap  dikuburkan-, dan anak perawan kalau sudah ada yang kufu (Sepadan) dengannya".[2]
"janganlah kalian menikahkan  wanita-wanita (anak-anak kalian) kecuali dengan yang sepadan (kufu) dengannya."[3]
"jika datang kepada kalian seseorang  (untuk melamar anak-anak kalian) yang kau ridhai agamanya dan akhlaknya, maka  nikahkanlah dia …"[4]
Nabi saw dengan tegas memerintahkan  para orang tua untuk "memeriksa" dan "meneliti" dulu agama serta akhlak orang  yang berniat melamar anak perawannya. Itu bukti kalau memang harus ada kafaah  dalam pernikahan. Kalau itu tidak ada, pasti Nabi juga tidak memerintahkan itu,  pokoknya Islam, ya menikah. Tapi tidak seperti itu. 
Selain hadits-hadits di atas, Dr.  Wahbah al-Zuhaili menyebutkan bahwa secara akal pun, yang namanya kufu itu  sangat diterima. Karena sudah menjadi pengetahuan umum (semua orang tahu),  bahwa yang kesamaan status, dan kesepadanan starata antara kedua pasangan  pasutri itu menjadi salah satu faktor keharmonisan keluarga. Karena bagaimana  pun kafaah itu punya pengaruh besar atas lancara tidaknya sebuah  hubungan keluarga. Syariat ini menginginkan adanya maslahat dari hubungan  pernikahan itu, maka kafaah sebagai factor yang mewujudkan itu menjadi  perhitungan juga.[5]
Kafaah, Hak Wanita
Karena itu jumhur ulama mengatakan  bahwa kafaah menjadi tuntutan pihak laki-laki, bukan pihak wanita;  artinya laki-laki yang harus menyepadankan dirinya kepada wanita, bukan  sebaliknya. Karena memang laki-laki tidak pernah mempermasalahkan status rendah  istrinya, berbeda dengan wanita dan keluarga yang mempermasalahkan status pria  kalau ia lebih rendah.[6]  
Dr. Wahbah menambahkan bahwa yang  namanya wanita terhormat sulit untuk hidup bersama laki-laki yang rendah  derajat sosialnya. Berbeda dengan lelaki yang bisa hidup dengan wanita mana  saja tanpa tahu rendah atau tinggi derajatnya. Disamping itu upaya ini adalah  bentuk proteksi syariah guna menjaga kemulian wanita agar tidak terkotori  dengan dipasangkan laki-laki tanpa kualifikasi yang jelas. 
Aspek-Aspek Kafaah
Namun, ulama yang mensyaratkan kafaah  ini juga berselisih pendapat tentang aspek-aspek apa saja yang menjadi  perhitungan dalam konsep kafaah ini? 
Madzhab Imam Malik hanya mensyaratkan aspek al-Diin saja  dalam konsep kafaah-nya. al-Diin itu berarti agama, namun bukan  asal Islam. Tapi yang dimaksud dalam madzhab ini ialah Islam yang berstatus Adil  atau tidak fasiq. Fasiq –dalam pandangan ulama fiqih- ialah mereka yang  melakukan dosa besar sekali, atau ditambahkan –dalam pendapat minoritas-  mengerjakan dosa kecil tapi berkali-kali. 
Artinya dalam madzhab ini, seorang  wanita baik-baik, yang tertutup auratnya, rajin shalatnya, baik akhlaknya,  mestinya mendapat laki-laki yang baik Islamnya, bisa dikatakan seorang Ustadz  atau orang yang terkenal shalih. Atau minimal orang yang sama keshalihannya  dengan si wanita, apapun profesinya yang penting Islamnya baik. Jadi, laki-laki  "nakal" tidak boleh dipasangkan dengan santriwati yang shalehah dan terjaga.[7]
Madzhab al-Hanafiyah, al-Syafi'iyyah  dan al-Hanabilah, selain  aspek agama, mereka menambahkan beberapa aspek lainnya, yaitu: 
1.   al-Diin [الدين]  (agama)
2.   al-Hurriyah  [الحرية] (bebas/budak)
3.   al-Nasab [النسب]  (Keturunan)
4.   al-Hirfah [الحرفة]  (Profesi/strata  sosial)
al-Hurriyah [الحرية]  (bebas/budak)
Aspek agama sebagaimana yang  dijelaskan oleh Imam Malik, dan aspek hurriyah sudah tidak  menjadi permasalahan karena memang perbudakan sudah tidak ada, setidaknya di  negeri kita Indonesia, semua orangnya adalah orang merdeka. 
al-Nasab [النسب]  (Keturunan)
Sedangkan aspek nasab memang  dalam struktur sosial Indonesia agak rancu, berbeda dengan bangsa Arab ketika  yang punya struktur kehormatan, mana suku yang terhormat dan mana yang  rendahan. Di Indonesia, tidak ada suku yang lebih baik dari suku lainnya karena  memang semuanya dalam satu strata yang sama.
Suku Sunda tidak lebih baik dari  Betawi, Batak tidak lebih buruk dari Jawa, semuanya sama, tidak ada yang saling  mengungguli. Semua orang bangga dengan sukunya masing-masing, itu pasti. Tidak ada  orang Betawi yang kemudian menyesal karena angan-angannya menjadi Sunda, dengan  asumsi bahwa Sunda lebih baik. Tidak ada.
Lalu kalau ukuran itu tidak ada,  bagaimana cara mengukur nasab ini? Imam Ghozali punya  penjelasannya. Dikutip oleh Imam al-Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj, beliau  (al-Ghazali) mengatakan bahwa kemuliaan nasab itu dilihat dari tiga hal[8]:
1.   Keturunan (nasab)  yang sampai pada Nabi Muhammad saw; keluarga Nabi dan keturunan, itulah nasab  nomor satu yang paling tinggi. 
2.   Keturunan para  ulama, itu strata kedua setelah keturunan Nabi saw; karena ulama adalah ahli  waris para Nabi.
3.   Keturunan para  orang shalih (ahli hikmah)
al-Hirfah [الحرفة]  (Profesi/strata  sosial)
Hirfah disebut juga dengan istilah lain, yaitu Shina'ah  [صناعة] yang artinya sama, profesi. Artinya memang dalam  tatanan sosial profesi menjadi instrument yang membentuk status sosial  seseorang. Seorang pegawai Negeri tentu lebih terhormat dalam masyarakat dibanding  petugas kemanan kompleks. Begitu juga juragan jauh lebih terpandang dibanding pedagang  pasar biasa. 
Jadi, dalam aspek ini, wanita yang  berprofesi menengah mestinya dipinang oleh laki-laki yang berprofesi lebih  tinggi, atau minimal sama. Bagaimana kalau mereka tidak berprofesi, maka  profesi orang tuanya yang dilihat. Anak juragan mengambil posisi terhormat  ayahnya dalam hal kafaah ini, yang datang pun mestinya anak pejabat atau  minimal sama-sama anak juragan. 
Salah satu aspek yang menjadi  perhitungan juga adalah al-Yasar / al-Ghina' [اليسار / الغناء] (kekayaan), akan tetapi ini hanya milik  madzhab al-hanafiyah saja. Tidak yang lain.[9]  
Kafaah, Syarat Sah Nikah?
Lalu yang menjadi permasalahan,  apakah jenis syarat dalam kafaah ini. apakah ia syarat sah nikah? Dimana  pernikahan menjadi batal kalau tidak adanya kesepadanan antara kedua mempelai? Atau  syarat apa?
Ulama yang mensyaratkan kafaah ternyata  tidak mengkategorikan kafaah itu sebagai syarat sah nikah. Tapi kafaah  ini masuk dalam kategori Syarat Luzum [شرط اللزوم].  Yaitu syarat yang  membolehkan pihak wanita atau walinya mengajukan pembatalan nikah kalau memang  pasangan pria ternyata tidak kufu dan si wanita tidak meridhai.[10]
Sama seperti cacat fisik atau aib  badan yang mana aspek tersebut menjadi salah satu factor bolehnya pernikahan  itu di-faskh jika memang salah satunya tidak meridhai adanya aib itu.
Jadi pernikahan yang tidak ada kafaah  di dalamnya tetap dinyatakan sah, tidak batal. Hanya saja si wanita punya  hak untuk mengajukannya ke hakim guna mem-faskh (membatalkan) akad  nikahnya. Kalau memang ia tidak meridhai kekurangan yang ada pada pihak laki  tersebut. 
Kalau memang si wanita yang  terhormat dan dari keluarga terpandang itu rela dan ridha dinikahi laki-laki  yang lebih rendah derajatnya dari dia dan keluarga, ya pernikahan sah-sah saja.  Dan alahkah bijaknya jika para wanita serta para wali wanita tidak memberatkan  para calon pelamar anak-anak mereka.  
Wallahu a'lam
[1] Al-Fiqh  al-Islam wa Adillatuhu, 9/216
[2] Hadits  riwayat Imam Turmudzi dalam Sunan-nya, Kitab Nikah, bab "maa jaa' fi  al-waqti al-awwal min al-fadhl, no. 156
[3]  Hadits riwayat al-Daroquthniy, Kitab NIkah, Bab al-Mahr, no. 11. Hadits ini  dinilai sebagai hadits matruk oleh para ulama hadits karena ada Mubasyir  bin Ubaid yang dinilai cacat.
[4] Hadits  riwayat Turmudzi, Kitab Nikah, Bab "idza jaa'a mantardhauna dinahu wa  khuluqahu fazawwijuuh", no. 1004
[5] Al-Fiqh  al-Islami wa Adillatuhu, 9/220
[6] Raudhah  al-Thalibin, 7/84, Kasysyaf al-Qina' 5/67
[7] Al-Fawakih  al-Diwani, 2/9
[8] Mughni  al-Muhtaj 4/276
[9] Bada'i  al-Shana'i, 2/319
[10] Hasyiyah  Ibn Abdin, 3/84, Raudhah al-Thalibin, 7/84, Kasysyaf al-Qina' 5/67
Ulama al-Hanafiyah punya penjelasan khusus bahwa kafaah  ini bisa menjadi syarat sah nikah, yaitu ketika si wanita menikahkan sendiri  dirinya –dalam madzhab ini wanita boleh menikah tanpa wali- namun tidak dengan  yang sepadan. Atau bisa jadi ia dinikahkan oleh wali cabang (bukan ayah  kandung) tapi ayah kandungnya tidak melihat si lelaki itu sebagai pasangan yang  sepadan bagi anak wanita kandungnya. (al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu 9/222)  

.jpg) 
 
 
saya msh gak ngerti sebenernya, kufu atau tidaknya pernikahan itu kan tidak ada kaitannya dg 'keturunan' yg notabene nya genetik, gak masuk akal aja rasanya, karena itu bukan sesuatu yg anda 'bangun' dan bukan jaminan bagi masa depan anda. anda dapat terlahir dg sikon apapun terlepas dari keturunan mana.
ReplyDeleteTapi, jika realistis, bicara soal kelas sosial (kelas ekonomi & tingkat edukasi) dan kepribadian, nah ini baru sangat masuk akal bin maklum.
Contoh aja.. Wajar jika wanita relijius lebih sesuai dg lelaki relijius (dari kepribadian), wanita kaya lebih cocok dg lelaki yg jg kaya (dari kelas sosial). Karena tidak dipungkiri, justru tingkat edukasi & kelas ekonomi adalah hal yang paling menentukan lingkungan sosial serta pengalaman sosial seseorang, terlebih di era global sekarang, karena berangkat dari dunia yang berkesesuaian, udah gak relevan karena soal keturunan.
Ngeliat realita aja... Kawan saya org Malaysia yg anak keluarga kaya, berduit udah jelas, edukasi tinggi (S2 Jerman), dapat istri dari Jerman pula yang notabene nya jelas negara dg latar ekonomi+edukasi yg tinggi, disini jelas keliatan 'kufu' nya kawan saya. Soal kepribadian tergantung masing-masing, gak mungkin gak nikah kalau keduanya gak klop secara kepribadian. Jadi apa lagi?, gak ada kaitannya dengan asal keturunan mereka.
Misal, Adalah lebih baik dan lebih masuk akal jika saya tidak menginginkan putri saya yg katakanlah berduit dan edukasinya tinggi, menikah dg seorang kurir tamatan SMU walaupun ia dari latar keturunan yg sama, soal kepribadian lain cerita, tapi mengenai latar sosial-ekonomi ini paling realistis dalam kelangsungan rumah tangga bukan?. Jadi kriteria konkrit disini bukan karena harus kesamaan latar keturunan, bukan jaminan keturunan ini-itu pasti lebih alim, lebih kaya, lebih smart, dll.. Miskin-kaya, bermoral-imoral, pintar-bodoh, itu semua gak pandang keturunan mana.
Saya cuma memandang bahwa melibatkan keturunan seseorang dalam kufu nya pernikahan itu ambigu.