Kawin Paksa Boleh?
Dalam Islam memang orang tua  mendapat kedudukan yang tinggi dibanding orang lain dalam hal kewajiban seorang  muslim berbuat baik. Bahkan dalam surat al-Isra' ayat 23, Allah swt menempatkan  kewajiban berbuat baik kepada orang tua itu di nomor 2 setelah kewajiban taat  kepada-Nya. 
Dalam beberapa hadits, Rasul saw  berpesan untuk tidak menyakiti hati orang tua atau menyinggungnya sedikitpun,  karena Allah swt menggantungkan ridha-Nya kepada Ridha orang tua, begitu juga  murka-Nya yang bergantung pada ridha orang tua. 
Toh memang sudah digariskan, bahwa  cintanya orang tua kepada anak sangat dalam dan luas, tidak berbatas. Tidak ada  orang yang mampu mengalahkan cintanya orang tua kepada anaknya. Firman Allah  swt: "dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang  diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak." (Ali Imran 14)
Saking cintanya kepada sang anak,  tidak sedikit orang tua yang berani mengorbankan nyawa demi kebahagian sang  anak. Jadi memang kewajiban berbuat baik kepada orang tua –selain karena wahyu-  sangat beralasan melihat cintanya yang sangat besar kepada si anak. Apapun  pasti akan orang tua lakukan demi menciptakan kehidupan yang bahagia bagi sang  anak. 
Termasuk dalam hal jodoh bagi si buah  hati. Menjadi dilema akhirnya bagi si anak ketika sang ayah atau orang tua  menjodohkan dirinya –dalam hal ini wanita- dengan lelaki yang sama sekali ia tidak  cinta. Jangankan cinta, kenal pun tidak.
Apapun itu, pastinya yang dilakukan  orang tua –jika keduanya ditanya- itu tidak lain karena cinta mereka kepada  sang anak sehingga merasa perlu untuk mencarika jodoh yang –menurut mereka-  baik buat si anak. Yang akhirnya memaksa sang anak menerima, lalu muncul  kemudian istilah "kawin paksa". 
Dan fenomena ini, di zaman modern  seperti saat ini pun masih ada, kita tidak bisa menutup mata akan hal ini. lalu  apakah yang seperti ini harus ditaati? Toh yang menjalani hidup kemudian nanti  itu kan si anak dengan pasangannya bukan orang tua. Dan yang paling mengerti  mana yang baik untuk si anak pun anak itu sendiri?
Apakah kalau nantinya menolak kawin  paksa ini dinilai sebagai anak yang durhaka kepada orang tua? Lalu bagaimana  para ulama melihat ini? 
Wilayah Ijbar (Otoritas Paksa)
Dalam pembahasan nikah di  kitab-kitab madzhab fiqih, kita akan dapati adanya istilah "Wilayah  al-Ijbaar"(otoritas paksa) yang dimiliki oleh sang wali, atau orang tua  kandung. Dimana sang ayah boleh menikahkan anak perawannya dengan siapapun itu  tanpa ridha sang anak. Dengan kata lain memaksakan anaknya menikah dengan  pilihannya walaupun si anak perawan tidak suka. 
Wilayah Ijbar ini memang sangat lekat sekali  penisbatannya kepada madzhab al-Syafi'iyyah. Mungkin karena memang orang  Indonesia sejak kecil terdidik dengan wawasan syafiiyah. Padahal sejatinya wilayah  Ijbar itu ada di setiap madzhab fiqih, hanya saja kriterianya berbeda. 
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh  Imam Muslim (no. 2546):
الثَّيِّبُ أَحَقُّ  بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ تُسْتَأْمَرُ وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا
"janda itu lebih berkah atas dirinya  dibanding walinya, sedangkan perawan itu diminta izin, dan izinnya itu adalah  ketika –ia ditanya- ia diam"
Madzhab al-Syafiiyah dan  al-Hanabilah lewat  hadits ini berkesimpulan bahwa yang punya hak atas dirinya sendiri adalah  janda. Ketika Rasul saw menyebutkan 2 jenis wanita; janda dan perawan, lalu  menetapkan hak itu hanya ada pada janda, berarti hak tidak ada pada perawan.  Nah, kalimat "tusta'maru" di situ pun diartikan sebagai anujuran saja,  bukan kewajiban.
Karena itu, 2 madzhab ini menetapkan  adanya wilayah Ijbar bagi wali atas anaknya yang perawan walaupun sudah  besar/baligh. Kalau yang perawan baligh saja masih ada wilayah Ijbar apalagi  yang kecil. Tapi tidak ada paksaan untuk janda, walaupun ia masih kecil. 
Tujuannya untuk melindungi si wanita  agar tidak salah pilih, terlebih lagi para wanita memang banyak tidak bergaul  dan mengenal laki-laki, yang akhirnya dikhawatirkan salah pilih, maka paksaan  ini menjadi terlihat penting bagi si wanita. (al-Majmu' 16/169, Kasysyaf al-Qina'  5/43)
Madzhab al-Hanafiyah punya logika yang berbeda yang lebih  terbuka. Bagi madzhab ini, akad pernikahan termasuk akad muamalah, dan maqshad  (tujuan) syariah dari muamalah adalah menciptakan maslahah bagi pelaku akad  tersebut. Maka wilayah Ijbar tidak ada dalam madzhab ini, karena yang  tahu baik-buruknya hidup seseorang ya orang itu sendiri, termasuk bagi wanita  perawan. 
Maslahat hidupnya diserahkan pada  dirinya sendiri. Seorang ayah/wali tidak punya hak memaksakan laki-laki pilihannya  kepada si anak perawan tersebut. Wilayah Ijbar dalam madzhab Imam Abu  Hanifah hanya ada bagi anak perawan yang masih kecil dan belum baligh. Itu  saja! 
Sedangkan ketika seorang perawan  sudah baligh, ia sudah mampu menentukan mana yang baik dan mana yang buruk  untuknya tanpa bimbingan sang wali. Jadi untuk pasangan hidupnya pun diserahkan  pada dirinya. Itu alasannya. (Bada'i al-Shana'i 2/242)
Madzhab Imam Malik punya pendapat yang lebih demokratis  dibanding madzhab-madzhab lainnya dalam hal ini. kalau madzhab al-Syafiiyah dan  al-Hanabilah berpatokan pada perawan atau janda. Dan Madzhab Imam Abu Hanifah  berpatokan pada Mengerti atau tidak mengerti perawan tersebut akan maslahat  hidupnya. Imam Malik justru menimbang kedua aspke tersebut; Janda atau tidak dan  mengerti maslahat hidupnya atau tidak. 
Jadi, wanita perawan dalam madzhab  ini diperlakukan berbeda. Yang mendapat Wilayah Ijbar itu perawan yang  memang kurang cerdas dalam bersikap, tidak bergaul, tidak mengenal laki-laki  sehingga harus ada yang memaksanya untuk pilihan pasangan. 
Sedangkan wanita rasyidah; yaitu  wanita cerdas yang mandiri dan bisa serta mengerti mana yang baik dan buruk  juga mana maslahat untuk dirinya, ia dibebaskan untuk memilih sendiri calon  pendampingnya.   
Yang janda pun –dalam madzhab ini-  kalau ia masih kecil, dan tidak mengerti perihal kemaslahatan hidupnya, orang  tuanya boleh melakukan ijbar nikah untuknya. (Hasyiyah al-Dusuqi 2/244)
Syarat Ijbar
Memang semua punya maqashid yang  sama, hanya saja interpretasi dan metode yang berbeda. Tapi kalau dilihat dari  pemaparan pendangan masing-masing madzhab, rasanya madzhab al-Syafi'iyyah itu  terkesan otoriter dan tidak mengerti keadaan zaman; melegalkan kawin paksa yang  –disadari atau tidak- itu punya nilai yang negative sekali bagi wanita. 
Sudah bukan rahasia lagi, pernikahan  yang tidak didasari rasa saling cinta akan berdampak buruk bagi hubungan  tersebut, apalagi ada bumbu-bumbu pemaksaan di situ. Pernikahan yang tadinya  bertujuan untuk kemaslahatan, malah menjadi mafsadah (keburukan) bagi  wanita.
Tapi, kalau diteliti, ternyata Ijbar  (otoritas paksa) yang dimiliki oelh seorang wali atas anak perawannya itu  diakui secara mutlak dalam madzhab Imam Syafi'i ini. Artinya seorang wali tidak  bisa memaksakan pernikahan anak perawannya kecuali telah memenuhi syarat ijbar  itu sendiri. 
Ada 7 syarat ijbar yang  ditetapkan dalam madzhab ini bagi wali yang mau menikahkan anak perawan tanpa  izin perawan tersebut. Kalau salah satu syaratnya tidak terpenuhi, wilayah  Ijbar yang dimilikinya pun gugur sebagaimana disebutkan oleh Imam  al-Syiribini dalam kitabnya al-Iqna' (2/415); 
- Tidak ada permusuhan antara ayah/wali (pemaksa) dan anak perawannya
- Calon lelakinya haruslah yang se-kufu' (sederajat)
- Mahar yang diberikan harus dengan al-Mahr al-Mitsl (nilainya sama seperti kakak atau adik si wanita atau wanita yang punya starta sosial yang sama)
- Mahar harus dengan mata uang setempat
- Calon laki harus yang mampu bayar mahar
- Tidak boleh menikahkannya dengan laki-laki yang justru bisa merugikannya, seperti laki-laki yang punya penyakit, sudah berumur tua, atau cacat fisik/mental
- Calon lelaki tidak sedang dalam kewajiban nusuk Haji
Jadi, sejatinya madzhab al-Syafi'iyyah  pun sang wali tidak bisa main asal paksa, tidak bisa juga asal menikahkan anak  perawannya tanpa ridhonya kecuali jika syarat Ijbar tersebut terpenuhi.  Jadi boleh paksa asal syaratnya harus terpenuhi. 
Kalau begitu jelas memang bahwa sang  wanita perawan pun punya hak untuk menentuka siapa yang akan menjadi  pendampingnya, dan sang wali tidak bisa main asal paksa menikahkah tanpa  seizing dan ridhanya. 
Sayyidah 'Aisyah Radhiyallahu  'anha meriwayatkan sebuah hadits yang ini direkam dalam beberapa kitab  sunan (Ibnu Majah, al-Nasa'i, al-Daroquthni) termasuk musnadnya Imam Ahmad; Ada  seorang wanita yang mengadu kepada Nabi perihal ayahnya yang menikahkannya  secara paksa dengan lelaki yang ia benci. 
Rasul pun kemudian memanggil sang  ayah dan memberikan pilihan kepada si wanita tersebut untuk membatalkan dan  memilih siapa yang ia sukai. Lalu wanita tersebut menjawab:
فَإِنِّي قَدْ  أَجَزْتُ مَا صَنَعَ أَبِي وَلَكِنْ أَرَدْتُ أَنْ تَعْلَمَ النِّسَاءُ أَنْ  لَيْسَ لِلْآبَاءِ مِنْ الْأَمْرِ شَيْءٌ 
"Aku telah membolehkan apa yang  dilakukan oleh ayahku, hanya -kedatanganku ke mari- aku ingin memberitahukan  kepada wanita lain bahwa wanita juga punya hak!"
Wallahu a'lam

.jpg) 
 
 
Comments
Post a Comment