Donor ASI Dalam Pandangan Syariah
Beberapa hari yang lalu, saya ber-chat via Blackberry dengan salah seorang ibu Rumah Tangga yang mengaku salah satu anggota dari perkumpulan wanita peduli bayi kurang asi. Perkumpulan tersebut memberikan atau lebih tepatnya mendonorkan asi yang sudah diperah dan dibotolkan kepada mereka yang membutuhkan.
Beliau mengatakan bahwa sekarang sudah bukan barang asing lagi, banyak wanita yang mendonorkan susunya untuk bayi-bayi yang kekurangan asi. Karena memang banyak bayi dalam keadaan tidak berunutung, begitu kata beliau.
"Itu bagaimana hukumnya ya, pak?"
Saya katakana ya "Ahlan wasahlan", silahkan saja dan tidak mengapa. Kalau memang si wanita mempunyai susu yang melebihi kebutuhan anaknya sendiri kemudian ia berkeinginan mendonorkan, justru itu akan menjadi amal baik wanita itu nantinya dan tentu mendapatkan pahala dari Allah swt.
Toh dulu juga Nabi menyusui dari ibu susuan yang bernama Halimah Al-Sa'diyah, dari suku Sa'd di kampung baduy.
Hanya saja memang harus diketahui konsekuensi syariah yang muncul dalam mendonorkan susu itu bagi siapapun yang ingin mendonorkan asinya tersebut. Bahwa nantinya donor asi itu akan menyebabkan pertalian nasab bagi si wanita pendonor dan juga bayi yang mendapat donor asi tersebut.
Si anak menjadi seperti anak kandung hukumnya dalam syariah. Lebih tepatnya menjadi mahrom, karena telah menjadi mahrom maka nantinya si bayi ketika sudah baligh boleh bersentuhan dengan si ibu pendonor dan juga tidak masalah membuka hijabnya di depan anak tersebut.
Dan anak itu menjadi saudara dari anak-anak si ibu pendonor itu. Menjadi sama hukumnya, dan tidak bisa menikah satu sama lain, karena status mereka semua ialah Mahrom.
Nah, untuk menghindari terjadi kerancuan nasab dari praktek ini, maka baiknya si pengelola harus terliti. Harus didata dengan identitas yang benar dan tidak bias siapa si pendonor dan siapa yang mnedapat donor asi tersebut. Agar nantinya ketika sudah besar tidak terjadi hal-hal yang melanggar syariah.
"Emangnya minum asi tidak langsung dari si ibu (dengan asi yang sudah diperah dalam botol) itu juga termasuk hal yang menjadikan ke-mahrom-an dan menetapkan nasab, pak?"
Ya. Memang ulama berbeda pendapat dalam hal ini, apakah ke-mahrom-an itu terjaid hanya dengan meminum asi langsung dari si ibu atau bisa dengan asi yang sudah diperah? Ada yang mengatakan "Ya. Jadi mahrom". Ada juga yang mengatakan "Tidak! Mahrom hanya terjadi ketika si bayi menyusu langsung".
[1] Mahrom Hanya Terjadi Dengan Menyusui Langsung.
Ulama dalam kelompok ini berpendapat bahwa susu yang sudah diperah itu tidak disebut menyusui, jadi tidak terjadi ke-mahrom-an dalam hal itu, ini adalah pendapatnya madzhab Zohiri, dan juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Dengan dalil:
Rodho' [رضاع] (menyusui) secara bahasa Arab berarti:
التقام الثدي وامتصاص اللبن
"Iltiqom al-Tsady wa Imtishosh Al-Laban"
"menempelnya mulut bayi dengan dada dan menghisap susu dari situ"
Jadi jika seorang bayi menyusu dengan asi yang sudah diperah dan dibotolkan artinya dia tidak menyusu secara langsung dari dada si ibu, maka itu tidak dinamakan Rodho', karena bukan Rodho' ya tidak terjadi ke-mahrom-an dalam hal ini. Karena memang ke-mahrom-an terjadi hanya terjadi dengan Rodho', dan asi yang sudah dibotolkan tidak bisa dikatakan Rodho'.
Selain secara bahasa, bahwa menyusui itu ialah bukan hanya menyalurkan asi kepada si bayi. Tapi dengan menyusui langsung juga terjadi proses transfer rasa sayang dan cinta dari si ibu kepada si bayi, nah proses pertalian emosional ini jugalah yang menyebabkan terjadinya ka-mahrom-an. Dan itu tidak terjadi pada penyusuan dengan asi yang sudah dalam botol.
[2] Ke-Mahrom-An Terjadi Dengan Menyusui Langsung Atau Tidak Langsung
Ini pendapat jumhur (mayoritas) ulama dari 4 madzhab Fiqih. Menyusui baik yang langsung atau pun dengan system perah dan botol itu sama saja hukumnya, sama-sama menjadi si bayi dan si ibu mnejadi mahrom. Dengna dalil:
Yang mnejadi patokan itu bukan bagaimana cara menyusui, tapi yang menjadi Patoka itu ialah susu ibu itu sendiri yang telah masuk kedalam tubuh si bayi dan menyatu dengan darah dan daging.
Dalam riwayat Abu Daud dari hadits Ibnu Mas'ud disebutkan Nabi saw bersabda:
لَا رَضَاعَ إِلَّا مَا أَنْشَزَ اَلْعَظْمَ, وَأَنْبَتَ اَللَّحْمَ
"tidak dikatakan menyusui kecuali yang menjadikan tulang dan menumbuhkan daging" (HR. Abu Daud)
Disini jelas bahwa yang disebut dengan Rodho' itu ialah penyusuan yang menjadikan daging dan tulang, dan itu terjadi pula pad bayi yang menyusu dengan botol dari asi yang sudah diperah. Jadi memang tidak mesti langsung.
Kemudian juga ada hadits yang mengatakan bahwa: "Sesungguhnya Rodhoah (penyusuan) itu ialah yang menghilangkan kelaparan (si bayi)" (Muttafaq 'Alayh). artinya memang dalam hal ini tidak dilihat apakah susu itu dihisap langsung atau tidak. Selama asi itu memang menjadi makanan pengeyang (makanan pokok) bagi bayi, dan itu kemudian menjadi daging dan tulang, maka ke-mahrm-an berlaku disitu.
"Lalu Gimana, pak? Mana pendapat yang kuat?"
Saya tidak mengatakan mana yang kuat mana yang lemah. Tapi saya lebih condong kepada pendapat Jumhur. Selain karena itu suara mayoritas (Majority Voice), pendapat ini juga lebih hati-hati dan tidak menggampangkan.
Toh dulu, pada zaman Nabi juga terjadi peristiwa Salim, seorang Budak Abu Khuzaifah, yang disusui oleh istirnya Abu Khuzaifah dengan susu yang sudah diperah dan kemudian Nabi menyatakan bahwa mereka telah menjadi mahrom.
"Bukannya Penyusuan yang menetapkan nasab itu penyusuan dengan jumlah 5 kali susuan?"
Ya. Itu pendapat Jumhur bahwa penyusuan yang menyebabkan mahrom itu jika susuannya mencapai 5 kali susuan, berdasarkan hadits 'Aisyah ra. Bahwa diawal masa-masa kenabian, penyusuan yang menyebabkan ka-mahrom-an ialah 10 kali dan kemudian diNaskh (dihapus) mnejadi 5 kali susuan. Dan ini yang berlaku sampai Rasulullah saw wafat. (HR Muslim)
"Lalu Bagaimana menentukan itu satu kali susuan? Apakah dengan satu botol atau berapa takarannya?"
Imam Shon'any dalam kitab Subulus-Salam, menjelaskan ini. Beliau mengatakan bahwa yang disebut satu kali susuan itu ialah:
"ketika si bayi menyusu (langsung atau tidak langsung) kemudian ia meninggalkan susuannya tersebut tanpa paksaan (bukan dilepaskan oleh si ibu) tapi dia melepaskan isapannya tersebut dengan sendirinya. Tapi jika ia melapaskan isapan karean ingin bernapas atau sekedar istirahat atau hal lain (seperti nguap dan ngulet), kemudian kembali lagi menghisap dalam jarak waktu yang dekat. Maka berhentinya itu tadi tidak terhitung sebagai satu kali susuan, tapi susuan yang belum beres."
(Subulus-Salam. Hal 1117)
Nah itu yang disebut dengan satu kali susuan. Tapi kan memang bayi itu tidak menyusu sekali dua kali, bahkan dalam sehari ia bisa menyusu lebih dari 6 kali dan lebih dan lebih. Kalaupun harus dioplos, artinya susuan pertama dari donor asi si ibu A dan yang kedua dari ibu B.
Maka penting disini pendataan yang detail. Hari ini memang si ibu A donor asinya hanya satu kali, tapi esok hari ia bisa mendonor yang kedua dan dihisap oleh bayi yang sama seperti kemarin. Kalau terus berulang sampai 5 kali, maka terjadi ke-mahrom-an.
Maka penting dalam hal pengelolaan donor asi ini ialah pendataan identitas yang jelas dan detail baik bagi si ibu pendonor atau si bayi yang mendonorkan.
"Boleh ngga ya, pihak pengelola meminta uang atas asi yang diminta?"
Saya melihat tidak ada masalah jika harus diuangkan, artinya diperjual belikan. Itu sama saja seperti pasangan pasurtri yang memberikan tanggung jawab susu anaknya kepada seorang wanita penyusu, dan memberikan gaji/salary untuk wanita tersebut.
Dan hal itu dibolehkan dalam syariah. Bahkan dalam ilmu fiqih, seorang suami lah yang wajib memberikan itu, artinya seorang suami berkewajiban memberi upah untuk istrinya jika ia menyuruh si istri untuk menyusui. Tapi jika menolak, si suami wajib mencarikan ibu penyusu untuk anaknya. Karena memang kewajiban Hadhonah (asuh) itu ada pada ayah, termasuk masalah asi bayi.
Tapi yang namanya donor, ya berarti donasi. Yang namanya donasi kan berarti pekerjaan sukarela, itu aslinya. Maka sebenarnya tidak perlu ada bayar-bayaran. Tapi jika pengelolaan memang membutuhkan uang untuk operasional pengelolaan, ya tidak masalah.
Wallahu A'lam
Comments
Post a Comment