Makan / Minum dari Piringnya Non-Muslim, Halalkah?
Ketika memberikan  kajian tentang thaharah dan sub pembahasannya yang di dalamnya ada pembahasan  najis, mau tidak mau pasti membahas tentang pembagian najis dan cara  mensucikannya. Pembagian ini, oleh kebanyakan ulama (syafiyyah khususnya) dibagi  menjadi 3 jenis; mukhaffafah (ringan), Mutawasithah (sedang),  mughalladzoh (berat).
*Cara Mensucikan Benda  Yang Terkena Najis*
Najis mukhaffafah,  cara pensuciannya cukup dipercikkan saja airnya, atau diusap; karena memang  begitu bunyi wahyunya. Dan perlu diingat bahwa perkara thaharah ini adalah  perkara wahyu, bukan logika. Walaupun terlihat masih tersisa najisnya, kalau  wahyunya bilang itu sudah suci, ya terhitung suci. 
 Najis mutawasithah,  cara pensuciannya mesti dihilangkan sifat najis tersebut; baunya, warnanya, dan  rasanya. Intinya benda atau anggota tubuh yang terkena najis tersebut sudha  steril dari bekas najis tersebut.
Najis mutawasithah,  cara pensuciannya mesti dihilangkan sifat najis tersebut; baunya, warnanya, dan  rasanya. Intinya benda atau anggota tubuh yang terkena najis tersebut sudha  steril dari bekas najis tersebut. 
Najis mughaladzoh,  cara pensuciannya mesti dengan 7 kali bilasan air, dan salah satunya dengan  tanah. Yaitu najis anjing dan babi (menurut al-Syafiiyah), atau air liurnya  menurut madzhab Imam Malik. Jadi walaupun dengan satu bilasan sudah terlihat  bersih, itu tidak bisa dikatakan sudah suci. Itu bisa dikategorikan suci kalau  memang sudah memenuhi birokrasi pensucian najis besar; yaitu dengan 7 kali  bilasan dan salah satunya dengan air.  
Artinya kalau ada  bejana atau wadah apapun itu yang tersentuh atau terjilat anjing dan babi, atau  juga bekas dipakai untuk menjadi wadah daging anjing serta babi, mensucikannya  harus dengan 7 kali bilasan dan salah satu bilasannya dengan air.
*Makan/Minum dari  Wadahnya Non-Muslim*
Kemudian timbul  banyak pertanyaan (sebagaimana pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saya dalam  kajian-kajian), yaitu perihal memakan makanan di rumahorang non-muslim yang  mengkonsumsi makanan yang terlarang dalam syariah-nya orang muslim, seperti  babi dan anjing atau juga alcohol. 
Di tengah masyarakat  yang heterogen seperti ini, sudah bukan sesuatu yang tabu lagi bahwa kita  (muslim) pasti ada saja kesempatan berkunjung ke rumah non-muslim. Seperti pesta  pernikahan misalnya, atau juga urusan pekerjaan (bos mengundang makan di  rumahnya) dan banyak lagi modelnya.
Nah, apakah boleh  memakan makanan dari piring mereka, sedangkan kita ragu mungkin saja piring itu  bekas gading babi atau anjing. Kalaupun sudah dicuci, pasti cara mencucinya  tidak sesuai syariah; 7 kali bilasan + tanah. Itu berarti wadah tersebut masih  najis, dan terkena makanan yang ada di atasnya menjadi najis pula. Pertanyaan ini  selalu muncul. 
*Keyakinan Vs  Keragu-raguan*
Yang perlu diperhatikan  dalam hukum syariah, sesuatu yang nyata dan jelas terlihat itu menjadi sesuatu  yang meyakinkan. Dan sesuatu yang statusnya meyakinkan, tidak bisa dirubah  hukumnya dengan sesuatu yang masih samar dan tidak jelas, apalagi belum  terlihat dan tidak ada nyatanya. 
Maka perlu dilihat, sajian  yang kita makan itu, apakah halal atau tidak? kalau itu makanan yang memang  hukumnya halal (bukan daging anjing, babi atau alcohol) dan bukan haram, tentu  tidak masalah. itu poin pertama.
Kemudian yang kedua,  wadah yang digunakan, apakah wadah itu halal, tidak kotor, Ada najisnya, atau  memang bersih dan steril dari benda-benda najis seperti darah, Khamr, dan  benda najis lainnya. Kalau steril, tentu menjadi tidak masalah.
Dari 2 poin si atas,  makanan yang ada depan mata kita itu ternyata hukum halal; makanannya halal,  wadahnya pun halal. Itu yang nyata terlihat dan meyakinkan statusnya. 
Kemudia timbul  keraguan; "wadah ini bekas dipakai makan daging anjing atau babi, dan dicuci  dengan tidak sesuai tuntunan syariah muslim. Kalau begitu ini status najis,  karena najis maka tidak halal dimakan." 
Tapi sayangnya,  paragraph di atas itu hanya timbul di hayalan saja. Itu praduga yang kebenaran  tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dari pernyataan yang aslinya duga-duga itu  muncul banyak ihtimal (spekulasi kemungkinan) yang bisa menjatuhkan  duga-duga itu.
Si non-muslim itu  tidak hanya punya piring satu, di dapurnya banyak piring yang mungkin saja  piring bekas daging babi/anjing bukan yang ada di hadapan kita ini. 
Atau bisa saja,  piring yang dipakai itu ialah piring sewaan untuk memenuhi kebutuhan piring  guna melayani tamu yang datang. artinya bahwa duga-duga itu tidak kuat, apalagi  kalau si tuan rumah sudah mengatakan bahwa ia memisahkan wadah untuk daging  anjing/babi dna untuk selainnya. 
Apalagi kita di  Indonesia, pengetahuan soal najisnya anjing babi itu bukan hanya diketahui oleh  muslim saja, semua orang di Indonesia ini tahu sampai orang non-muslimnya. Mereka  sudah terbiasa hidup di lingkuna mayoritas muslim, sehingga ketika menggelar  acara yang mengundang muslim di dalamnya, mestilah mereka memperhatikan etika  itu, dengan tidak mencampur adukan daging halal dan haram (versi syariah  Islam). 
Artinya duga-duga itu  tidak bisa merubah hukum yang sudah nyata ada di depan mata, yaitu halal dan  boleh, karena makanannya makanan halal, dan wadahnya pun bersih serta halal. 
Kecuali jika si tuan  rumah secara terang-terangan bahwa piring yang ada di hadapan kita itu adalah  piring bekas santapan daging anjing dan babi. Maka statusnya pun menjadi haram  untuk digunakan karena itu adalah najis. Itu kalau jelas ada pernyataan seperti  itu. 
So. Hukum haruslah  didasarkan pada sesuatu jelas dan tidak mengandung ihtimal (kemungkinan-kemungkinan).  Dan sesuatu yang meragukan, tidak bisa merubah status hukum yang sudah jelas  dan meyakinkan. 
Wallahu a'lam
.jpg) 
 
 
Pak ustad spon tuk mencuci piring bekas daging babi ya haya satu bagaimana dengan piring yang lain apa masih tidak najis
ReplyDeleteAlhamdulillah jadi tenang ustadz,,, hehehe
ReplyDelete