Posts

Showing posts from February, 2014

Tarjiih Antara 2 Hadits Yang Saling Kontra

Image
Dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh syaikhoi Al-Muhadditsin (2 sheikh ahli hadits), dari sahabat Ibnu Abbas ra, bahwa Nabi saw menikahi Mainumah, dan Nabi pada saat itu dalam keadaan ihram. عَÙ†ْ ابْÙ†ِ عَبَّاسٍ Ù‚َالَ تَزَÙˆَّجَ النَّبِÙŠُّ صَÙ„َّÙ‰ اللَّÙ‡ُ عَÙ„َÙŠْÙ‡ِ ÙˆَسَÙ„َّÙ…َ Ù…َÙŠْÙ…ُونَØ© َ ÙˆَÙ‡ُÙˆَ Ù…ُØ­ْرِÙ…ٌ "Dari sahabat Ibnu Abbas ra, beliau berkata: Nabi saw menikahi Sayyidah Maimunah dan beliau saw dalam keadaan ihram" (HR Al-Bukhori dan Muslim) Hadits ini derajatya shahih, diriwayatlan oleh Imam Al-Bukhor dan Imam Muslim pula. Tidak ada yang meragukan hadits ini, toh perawinya Al-Bukhori dan Muslim kok. Kandungan hadits ini, bahwa Nabi saw menikah dengan Sayyidah Maimunah dalam keadaan Ihram, artinya boleh menikah walaupun dengan keadaan muhrim, atau sedang ber- ihram. Tapi sayangnya, hadits ini justru tidak diamalkan oleh para ahli fiqih. Fuqaha' tidak menjadikan ini sebagai hujjah, dan malah mengatakan sebaliknya, bahwa haram hukumnya

Hutang Dalam Pandangan Syariah (Bag. 2)

Image
Sebelumnya, Baca Dulu "Hutang Dalam Pandangan Syariah Bag. 1" Nabi saw Memohon Perlindungan Dari Hutang Seperti yang telah disinggung sebelumnya, bahwa di satu sisi, memberikan hutang adalah sesuatu yang mulia karena memang menolong orang lain yang sedang dalam kesulitan. Tapi di sisi lain, ulama sangat mewanti-wanti sekali agar kita tidak terjerumus dalam hutang ini. Ulama sangat menjaga sekali agar berhutang itu tidak menjadi kebiasaan yang selalu ditempuh. Akan tetapi agama ini menggiring umatnya untuk selalu menjauhi berhutang. Karena bagaimanapun hutang adalah sebuah kesulitan tersendiri. Dikatakan oleh salah seorang penyair bahwa hutang itu adalah: "Mimpi buruk di malam hari, dan kegundahan di siang hari yang terus menghantui." Karena itu sejak jauh-jauh hari, Nabi saw mengajarkan kita untuk selalu menghindari hutang, sebagaimana doa yang beliau saw ajarkan: ا للهم إني أعوذ بك من الهم والحزن، وأعوذ بك من العجز والكسل،

Facebook dan Jurnalistik

Image
Ini artikel yang sekitar tahun lalu pernah saya shared di grup FB para pecinta jurnalistik kalangan pesantren. Satu hal yang penting dari manfaatnya Media Social seperti Facebook ini ialah semua orang bisa dan terbiasa menulis apa yang menjadi opini mereka dalam laman-laman dinding akun mereka. Dengan fasilitas Medsoc Biru ini, para pemilik akun dengan sendirinya menjadi penulis karena memang terbiasa menulis dan menuangkan isi pikiran dan juga hati dalam deretan linimasa (Timeline) laman akunya masing-masing. Dan satu lagi yang menjadi unggulan Medsoc ini ialah tidak ada penghalang antara penulis dan pembaca. Medsoc ini benar-benar terbuka, seorang penulis tidak perlu menyalin alamat URL di mana tulisannya dimuat. Dia cukup menulis apa yang dia mau di lama muka Facebook, dengan sendirinya kemudian akun-akun lain yang menjadi temannya bisa melihat dan membaca. Ini sistem promosi artikel paling mudah dan paling efektif. Sang penulis tidak perlu buk

Hutang Dalam Pandangan Syariah (Bag. 1)

Image
Hutang, dalam istilah syariah, ulama menyebutnya dengan sebutan Al-Qardh [ القرض ]. Akan tetapi kalau diterjemahkan secara normal dalam bahasa Arab, hutang itu adalah Al-Dain [ الدين ]. Akan tetapi penggunaan kata dain untuk hutang itu tidak lebih populer dibanding kata qardh. Kalau sekilas memang terlihat kedau istilah itu sama saja, ya sama saja! Akan tetapi kata dain itu punya makna yang jahu lebih luas dari qardh, karena dain itu juga mencakup sebaga jenis hutang, baik berupa harta atau pun hutang dalam bentuk dzimmah atau kewajiban. Seperti kewajiban sholat yang tertinggal, atau juga kewajiban puasa Ramadhan yang terlewat karena beberapa sebab, atau juga kewajiban zakat. Nah itu semua tergolong dalam istilah dain (hutang) , hanya saja hutang yang bersifat abstrak, tak terlihat. Qardh itu khusus untuk hutang yang bersifat fisik, yang terlihat, yaitu hutang harta. Aplikasinya seseorang yang mnejadi piutang yang meminjamkan uang sekian rupiah kepada pen

Siapa Yang Mewarisi Hutang?

Image
Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh Sudah sering dibahas tentang pembagian waris, dalam hal ini pembagian harta dari mereka yang telah wafat. Yang ingin saya tanyakan, bagaimana dengan hutang-hutang mereka yang telah wafat, siapa yang mewarisinya ? Apakah sama dengan pembagian harta ? Terima kasih Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh Jawaban : Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh  Yang harus diketahui lebih awal ialah bahwa hutang mayit itu bukan untuk diwarisi, akan tetapi hutang mayit itu dilunasi. Ya dilunasi dari harta mayit yang ditinggalkan. Dan itu bagian dari kewajiban yang harus dilaksakan sebelum pembagian harta waris. Jadi sebelum pembagian harta waris itu dimulai, harta mayit sudah steril dari sangkutan dan kewajiban yang berkaitan dengan harta, salah satunya ialah hutang. Maka, keluarkan dulu hutangnya, barulah mulai pembagian harta warisan. " Allah mensyari'atkan bagimu tenta

Kritikus Madzhab Fiqih (Bag. 2)

Image
Pengambilan Hukum dari Hadits Ini yang lebih rumit lagi! Bukan hanya madzhab mutakalimun dan madzhab Al-Fuqaha yang berselisih konsep dalam mengambil hukum dari hadits, akan tetapi masing-masing madzhab fiqih; Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah, Al-Syafi’iyyah, dan Al-Hanabilah punya konsep yang berbeda-beda dalam hadits untuk dijadikan sandaran dalil hukum. Al-Hanafiyah, dalam prakteknya tidak mengambil hukum kecuali itu hadits mutawatir. Sedangkan hadits Ahad, itu diperlakukan berbeda oleh madzhab ini. sebelum menerima hadits ahad, mereka teliti dulu, bagaimana perawi haditsnya? Kalau perawi haditsnya ternyata menyelisih apa yang diriwayatkan, hadits ini tidak lolos fit and proper test dalam madzhab Al-hanafiyah untuk dijadikan dalil hukum.  Bukan hanya itu, kalau perawinya tidak menyelisih, hadits Ahad ini tidak langsung diterima, ada tes lagi yang diujikan untuk hadits ber-perawi tunggal ini, yaitu apakah kandungannya menyelisih kandungan nash qath’iy (ayat

Kritikus Madzhab Fiqih (Bag. 1)

Image
Seperti memakaikan sepatu dengan ukuran kaki sendiri untuk kaki orang lain. Atau juga memaksa orang lain yang berbeda bentuk tubuh dan besarnya untuk memakai baju dengan ukuran badannya sendiri. Ya seperti itu kiranya para pengkritik madzhab fiqih belakangan ini. Mereka sering kali mengkritik pendapat-pendapat madzhab fiqih yang berbeda dengan pendapatnya, bahkan sampai mengatakan bahwa Imam A salah dalam mengambil hadits sebagai dalil, karena berdalil dengan hadits dhoif. Dhoif menurut versinya. Padahal sejatinya, masalah perbedaan dalam ranah hukum fiqih bukanlah sesuatu yang berbahaya, karena memang perbedaan itu ada dan bukan diada-adakan. Jadi keberadaan sebuah perbedaan dalam ranah fiqih adalah sebuah keniscayaan. Sayangnya para pengkritik itu tidak tahu atau mungkin tidak mau tahu dengan apa yang menjadi dasar manhaj (metode) pengambilan hukum (Istinbath) yang dipakai oleh para ulama mazdhab. Yang mereka tahu hanya satu metode saja dalam pengambi

Batasan Hari Boleh Jama'/Qashar Bagi Musafir

Image
Dalam syariah, seseorang yang melakukan sebuah perjalanan (safar), ia mendapat keringanan ( rukhshoh ) untuk meng- qashar sholatnya menjadi 2 rokaat, dan sekaligus menjama'-nya (zuhur-ashar dan maghrib-isya). Tapi beberapa orang banyak yang bertanya, apakah rukhshoh qasahar dan jama' sholat it uterus bisa dilakukan oleh seorang musafir walaupun waktu safarnya sangat lama. Apakah ada batasan di mana seorang musafir sudah tidak dieprkenankan lagi untuk mendapatkan rukhshoh qashar dan jama' tersebut? Berniat Mukim Jawabannya dilihat dari keadaan musafir itu sendiri. Kalau memang ia melakukan perjalanan dan berniat mukim di lokasi tujuan, seperti orang yang mempunyai rumah lebih dari satu, maka status musafirnya yang mana itu menjadikannya mendapat rukhshoh itu selesai ketika ia sampai rumah tujuan. Jadi, Ketika sampai lokasi, ia tidak boleh lagi qashar atau pun jama' sholat, karena statusnya di lokasi tujuan adalah seorang mukim, bukan m